Sabtu, 29 September 2012

NOVEL “STUDENT HIDJO” SEBAGAI SEBUAH BACAAN LIAR

NOVEL “STUDENT HIDJO”
SEBAGAI SEBUAH BACAAN LIAR

            Pemerintahan kolonial Belanda dalam perkembangan kultural membutuhkan berbagai bentuk sarana untuk mengendalikan kesadaran masyarakat jajahan. Salah satunya yaitu buku bacaan (termasuk karya sastra), dengan sendirinya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Melalui Commisie voor de Inlandsche School en Volkslektuur (Komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat) pemerintahan kolonial menyeleksi dan mengawasi isi dari bacaan dari setiap penerbitan yang ada. Bacaan yang tidak se-ideologi dengan mereka disebut “Bacaan Liar.”  Bacaan liar dalam pandangan pemerintahan kolonial dianggap tidak sesuai untuk perkembangan kebudayaan masyarakat jajahan dari segi isi maupun bahasa. Bacaan liar adalah bacaan yang sifat-sifat dan isi karangannya banyak menghasut rakyat untuk berontak.
            Pengarang yang menulis bacaan liar disebut sebagai pengarang liar, salah satunya yaitu Mas Marco Kartodikromo, yang telah berkali-kali dijatuhi hukuman oleh pemerintahan Belanda karena tulisan-tulisannya.
            Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Buku ini diterbitkan kembali dengan dua versi pada tahun 2000, oleh Aksara Indonesia dan Bentang, keduanya penerbit dari Yogya.
            Novel ini berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. Hingga menjadi masuk akal jika novel ini kemudian dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni Balai Pustaka, bahkan sampai saat ini.
            Marco secara lugas juga menunjukan keberpihakannya kepada bangsa Bumiputra. Ia menggunakan tokoh Controuler Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang mengkritik ketidakadilan colonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia. Siregar (1964) menyatakan bahwa Mas Marco Kartodikromo adalah pengarang yang pertama kali melancarkan kritik terhadap feodalisme dan kolonialisme atas dasar perjuangan kelas.
            Novel ini menggambarkan kehidupan priyayi Jawa dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, seperti kemudahan menimba pendidikan. Suasana-suasana masa pergerakan, terutama Sarekat Islam, yang merupakan organisasi masyarakat yang sangat popular, Razif (2005), Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan.
Novel ini juga melambangkan modernitas kaum muda pada masa pemerintahan kolonial Belanda, yang digambarkan pada tokoh Raden Hidjo lulusan HBS dan tunangannya Biroe. Modernitas dan nilai-nilai tradsional mengalami perubahan, tetapi digambarkan sejajar. Selain itu perjuangan idealisme organisasi Sarekat Islam yang dipimpin Mas Marco tampak dalam novelnya Student Hidjo, Shiraishi (2005), Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
Tokoh utama dalam novel ini yaitu Hidjo. Ia digambarkan sebagai “seorang anak moeda jang soeka beladjar; djoega dia seorang jang tidak banjak bitjara dan kesenangan seperti anak moeda kebanjakan”(hlm 8). Ia anak seorang saudagar kaya. Ayahnya menginginkan Hidjo melanjutkan sekolahnya seperti anak-anak pangeran dan anak-anak bupati. Saudagar atau pedagang pada masa itu masih dipandang rendah oleh para pegawai pemerintahan, seperti yang dikatakan oleh Raden Potronojo pada novel Student Hidjo Hlm.6. Ayah Hidjo, Raden Putronojo, berharap dengan Hidjo pergi ke Belanda, dia bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan Gouvernement,  pemerintah kolonial. Namun sang ibu, Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke luar negeri yang dinilai sarat “pergaulan bebas.”
Pendidikan di Belanda membuka mata dan pikirannya yang sangat besar bagi Hidjo. Hidjo sang kutu buku yang “dingin” dan mendapat julukan “pendito” sampai onzijdig, banci, akhirnya terlibat hubungan seksual di luar nikah dengan Betje. Pertentangan karena melakukan aib dan panggilan ke Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk memutuskan tali cinta pada Betje.
Lalu, pada akhirnya Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe, sementara Biroe dengan Raden Mas Wardojo, kakak laki-laki woengoe. Semua, baik dari pihak yang dijodohkan maupun yang menjodohkan, menerima dan bahagia. Di bagian itu membuktikan kalau cerita perjodohan tidak selalu berakhir dengan tangis dan sengsara.
Selain itu, pengalaman Hidjo ke Belanda selain membuka mata dan pikirannya, ia juga menikmati sedikit hiburan murah ketika dia bisa memerintah orang-orang Belanda di Hotel, restaurant, atau di rumah tumpangan yang mustahil bisa dilakukan di Hindia (lihat hlm. 38-39). Dari peristiwa tersebut, Hidjo mengetahui bahwa tidak semua bangsa Belanda mempunyai sifat ingin memerintah tapi ada juga yang ingin diperintah (lihat hlm. 39).
Keinginan untuk melepaskan diri dari penindasan dan menuntut persamaan hak antara bangsa Bumiputra dan bangsa Belanda lah yang mendasari penulisan novel ini. Dapat terlihat ketika persamaan derajat, kekuatan serta kepercayaan yang diharapkan oleh bupati Djarak (lihat hlm. 85). Disini Mas Masrco ingin menyadarkan masyarakat, khususnya kaum kromo untuk berjuang melepaskan dari penindasan, melalui pergerakan politik agar persamaan hak antara bangsa Bumiputra dan bangsa Belanda dapat diwujudkan.

Jumat, 28 September 2012

KEMENANGAN ADAT DALAM NOVEL “SALAH ASUHAN” DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN POSTKOLONIALISME

KEMENANGAN ADAT DALAM NOVEL “SALAH ASUHAN”
DENGAN PENDEKATAN
SOSIOLOGI SASTRA DAN POSTKOLONIALISME

   Sastra merupakan sebuah album rekaman pada zaman tertentu, begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya baik secara implisit maupun secara eksplisit. Sehingga ada beberapa karya yang perlu dikaji lebih secara mendalam untuk mengetahuinya. Selain dapat dijadikan album rekaman dapat juga dijadikan dokumen masyarakat, yang berisi tentang norma-norma, sejarah perjuangan, adat-istiadat, dan silsilah tokoh. Menurut Warton (Wellek dan Warren, 1995:122), sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama sejarah bangkit dan runtuhnya semangat kesatriaan. Mempelajari sastra  dapat dikatakan sebagai dokumen atau  potret sosial. Dikatakan sebagai  dokumen sosial,  karena sastra berkaitan dengan reproduksi ulang dari cermin kehidupan yang cenderung  realitas di masyarakat, sedangkan sastra sebagai potret sosial, sastra mempunyai kemampuan untuk merekam tanda-tanda zaman baik secara temporal  maupun secara periodik.
Teeuw (1984:94 dan 1983:65), sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya dan juga karya sastra merupakan karya fiksi yang bersifat imajinatif, pengarang berusaha memanfaatkan kondisi sosial di sekitarnya sebagai objek karya sastra. Kehadiran sastra ada misi-misi tertentu dari seorang pengarang sebagai anggota masyarakat yang peka akan sentuhan-sentuhan situasional. Novel Salah Asuhan Karya Abdul Muis, yang merupakan salah satu karya sastra yang populer pada angkatan Balai Pustaka. Novel tersebut mengisahkan pembauran dan pembenturan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Novel Salah Asuhan, tampil ditengah-tengah zamannya, yang menggambarkan pemberontakan antara kaum muda (pembaharu) yang berpendidikan Barat dengan berpandangan luas dengan kaum tua (tradisonal) yang masih berpegang erat akan nilai-nilai adat-istiadat setempat.
Gesekan-gesekan yang muncul dalam Salah Asuhan, pada hakikatnya bukan benturan antara kaum tua (ibu dan mamak Hanafi) dengan kaum muda (Hanafi), melainkan benturan yang ada dalam diri Hanafi sendiri. Hanafi dengan bekal pendidikan dan lingkungan pergaulannya menganut nilai-nilai dan sikap hidup yang berorientasi ke Barat, dan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk mewujudkan cita-citanya dengan jalan mengawini gadis Indo-Eropa, yang bernama Corrie du Busse, dan meningggalkan istrinya Rapiah yang dianggapnya sebagai perempuan kampungan yang tidak tahu apa-apa.
Novel Salah Asuhan merupakan gambaran kehidupan salah satu pemuda Indonesia, karena memperoleh pendidikan Barat ingin hidup seperti kehidupan orang-orang Barat, yang sudah barang tentu tidak akan dapat diterima bahkan mengejutkan anggota keluarga mereka sendiri. Timbullah gesekan-gesekan yang terjadi tidak lain dari konflik batin dalam diri sendiri, muncullah pertikaian antara keinginan dengan realita, jauh dari relasi sanak-saudara, cinta yang gagal, bahagia sesaat, dan dikucilkan dari lingkungan setempat.
Di novel ini tokoh Corrie di tempatkan pada kelompok ras biologis, dengan kecantikan keindahannya, Corrie menjadi tumpuan perhatian tokoh lain. Dari keindahannya tersebut jelas sekali bahwa kaum pribumi sangat rendah derajatnya. Dengan label keindahannya pula, Corrie ditempatkan sebagai seorang perempuan yang mempunyai pandangan dan pemikiran yang lebih luas dari Hanafi. Serta memiliki sifat ketinggian bangsa, dan sifat inilah yang menimbulkan perang batin dalam dirinya tatkala bersahabat dengan Hanafi.
Dengan adanya sistem patriakhal (garis laki-laki atau kebapakan), menempatkan dan manjadikan Corrie pada ras Eropa, bukan ras Indonesia. Hanafi  ditampilkan sebagai wakil dari masyarakat yang termasuk dari kelompok ras geografis. Ia adalah seorang pemuda Minangkabau yang melakukan pemberontakan terhadap label ras-nya. Hanafi merasa menyesal dan sedih dengan status pribuminya. Perbedaan antara bangsa Barat dan bangsa Timur sangat jelas dapat dilihat melalui dialog Tuan du Busse dengan Corrie, seperti kutipan berikut ini.:
Contoh sudah banyak, Corrie sudah tentu banyak juga di antara bangsa Barat yang memandang sama akan segala bangsa di dunia ini, atau sekurang-kurangnya tidak sangat memandang hina akan bangsa Timur tetapi sebahagiaan yang terbesar masih meyakini kata: Kipling seorang pujangan Inggris, Timur tinggal Timur, Barat dan tinggal Barat, dan tidaklah keduanya akan menjadi satu (hlm. 21).
Perbedaan ras antara Barat dan Timur telah menimbulkan kebencian ras tersebut. Orang Barat merasa benci kepada orang Timur dan sebaliknya orang Timur pun merasa benci kepada orang Barat, apalagi bila telah terjadi perkawinan campuran dari kelas ras yang berbeda itu. Karena adanya tekanan Ras itu maka Hanafi melakukan pemberontakan untuk bebas dari diskriminasi ras, yaitu dengan menjadi orang Indonesia yang kebelanda-belandaan lalu meminang Corrie. Saat krisis identitas kebudayan itulah Hanafi merasa berhasil keluar dari kebumiputraannya. Dalam masyarakat Minangkabau bila laki-laki mendapatkan istri dari luar Minangkabau berarti dia sudah melepaskan diri dari ikatan keluarganya. Namun, tindakannya itu ternyata salah, karena pada akhirnya Hanafi harus terbuang dari golongannya (Dalam masyarakat Minangkabau bila laki-laki mendapatkan istri dari luar Minangkabau berarti dia sudah melepaskan diri dari ikatan keluarganya) dan dihancurkan oleh masyarakat lingkungan Barat yang menolak kehadirannya bersama Corrie ke dalam lingkungan mereka.
Tokoh Hanafi sebagai bangsa Indonesia yang hanya dididik menjadi antek-antek Belanda semata, tetapi ia tidak menyadari hal itu. Jadi sekalipun Hanafi sudah minta dipersamakan haknya dengan warga negara Belanda, pada hakekatnya dia selalu dijauhi oleh orang-orang Belanda sendiri (merupakan politik Belanda yang menjadikan orang Indonesia sebagai antek Belanda) dan hal inilah yang ditentang keras oleh Abdul Moeis. Karena konsep pendidikan Barat itu lah alasan mengapa Abdul Moeis memenangkan adat agar para pemuda pribumi supaya tetap bersifat ketimuran walaupun telah mengenyam pendidikan Barat.

NOVEL BELENGGU SEBUAH PEMIKIRAN PERSAMAAN DERAJAT ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN “ANALISIS FEMINISME"

NOVEL BELENGGU SEBUAH PEMIKIRAN
PERSAMAAN DERAJAT ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
“ANALISIS FEMINISME"

         Novel Belenggu karya Armijn Pane ini adalah sebuah pemikiran baru. Pemikiran baru tersebut muncul berdasarkan realitas sosial. Salah satunya yaitu realita yang terjadi di rumah tangga. Novel ini menceritakan tentang kehidupan rumah tangga yang tidak lagi harmonis dan penuh dengan kemisteriusan.  Penokohan digambarkan sangat baik karena memberikan karakter-karakter yang pasti dan tidak berbelit-belit. Menggunakan setting budaya Jawa yang sangat khas di masa lalu. Kental dengan seni dan etikanya.
       Pada novel  Belenggu ini menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1940-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Pandangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Novel ini menginspirasi bahwa perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Hal tersebut dapat dilihat pada tokoh Tini.  Menurut Tini, sebagai istri, perempuan juga berhak untuk “menyenangkan pikiran, menggembirakan hati” karena dia “manusia juga yang berkemauan sendiri”. Tini mengibaratkan istri yang hanya tinggal di rumah sebagai “barang simpanan, berbedak dan berpakaian bersih, sekali setahun dijemur diluar”. Tini menolak situasi yang demikian. Dia menegaskan, “Kami lain, kami bimbing nasib kami sendiri, tiada hendak menanti rahmat laki-laki” (Belenggu. hlm. 53).
      Dalam dialog melalui surat dengan sahabatnya bernama Tati, Tini menemukan pertanyaan-pertanyaan kritis serupa. “Yu, Yu, benarkah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja yang kita ingat, kalau kita tiada ingat akan diri kita, kalau kesukaan kita cuma memelihara dia? Kalau tiada perasaan yang demikian, benarkah kita belum benar-benar kasih akan dia? Aku bingung, yu, bukankah kita berhak juga hidup sendiri? Bukankah kita ada juga kemauan kita? Mestikah kita matikan kemauan kita itu? Entahlah, yu, aku belum dapat berbuat begitu” (Belenggu. hlm. 71).


TOLERANSI  DALAM NOVEL BELENGGU
KARYA ARMJIN PANE

       I.            PENDAHULUAN
Novel Belenggu yang pertama kali muncul di Majalah Pujangga Baru No. 7 ini sebenarnya ditulis Armijn Pane pada tahun 1938. Para pengamat sastra Indonesia selalu menempatkan novel ini sebagai novel terpenting yang terbit sebelum perang. Sejak kemunculan pertama, tahun 1940, novel Belenggu banyak memperoleh berbagai tanggapan dan pujian. Semua novel ini ditolak oleh Penerbit Balai Pustaka karena isinya dianggap tidak sesuai dengan kebijaksanaan Balai Pustaka. Baru pada tahun 1940, Penerbit Dian Rakyat milik Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan novel ini, ternyata mendapat sambutan luas berbagai kalangan.
 Novel ini juga dipandang sebagai novel pertama Indonesia yang menampilkan gaya arus kesadaran. Pada tahun 1969, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah Indonesia. Belenggu sendiri merupakan sebuah pemberontakan dari apa yang dianggap tabu padahal itu kenyataan realitas sosial. Selain realita yang terjadi dalam rumah tangga, juga realita yang berkembang di jalanan. Novel Belenggu menceritakan tentang kehidupan rumah tangga yang tidak lagi harmonis. Penuh dengan kemisteriusan. Cerita yang disuguhkan mengandung nilai-nilai budaya, etika dan moral yang dapat mempengaruhi pembacanya. Penokohan juga sangat baik karena memberikan karakter-karakter yang pasti dan tidak berbelit-belit. Menggunakan setting budaya Jawa yang sangat khas di masa lalu. Kental dengan seni dan etikanya.
Novel Belenggu mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1940-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Pandangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini. Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Sedangkan adat dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Belenggu merupakan salah satu novel yang cukup menarik untuk diteliti. Hal ini dikarenakan novel ini merupakan novel yang pernah ditolak oleh Balai Pustaka. Kemudian adanya asumsi dalam masyarakat pada masa itu bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga. Akan tetapi, Armijn membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada pasangan dokter Sukartono dan Sumartini, yang keharmonisan rumah tangga mereka akhirnya kandas. Pandangan Armijn yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja. Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.

    II.            SISTEMATIKA
Ada tiga tokoh utama yang menjadi pusat cerita novel Belenggu. Yang pertama adalah dokter Sukartono (Tono), seorang dokter yang sangat mencintai pekerjaannya dan memiliki kepedulian kemanusiaan yang cukup tinggi sehingga dia dikenal sebagai dokter dermawan dan penolong. Tokoh kedua adalah Sumartini (Tini), istri Tono. Ia seorang perempuan modern yang tak ingin terkungkung dalam belenggu kehidupan domestik keluarga dan memiliki banyak aktivitas sosial di luar rumah. Di sisi yang lain, ia merasa diabaikan oleh suaminya yang waktunya banyak tersita mengurusi pasien. Tokoh ketiga adalah Nyonya Eni, alias Siti Rohayah (Yah), alias Siti Hayati. Yah adalah perempuan korban kawin paksa yang frustrasi, kemudian hidup sebagai perempuan panggilan, tetapi ia juga gemar membaca. Yah adalah teman lama Tono yang secara diam-diam mencintainya. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa ketiga tokoh utama novel ini berasal dari kelompok sosial dan berinteraksi dalam ketegangan perselingkuhan yang digambarkan sejak bagian pembuka novel ini.
Di sini integritas seorang Tono adalah dia menjunjung tinggi pekerjaannya. Dia bekerja disiplin tanpa kenal lelah demi pasiennya. Dia juga seorang dokter yang dermawan karena sering membebaskan bayaran bagi pasiennya yang tidak mampu. Ternyata pengabdian Tono pada pekerjaanya telah membuat dia lupa pada kehidupan rumah tangganya. Akhirnya, dia bertengkar dengan istrinya hingga akhirnya dia berselingkuh dengan Yah teman sekolahnya dulu. Tono dan Tini akhirnya bercerai, dan Tono bertambah sedih ketika mengetahui bahwa Yah juga meninggalkan dia. Integritas seorang Tini adalah dia merasa tidak baik untuk menjadi seorang istri, dia menginginkan Yah yang menggantikan dirinya. Integritas seorang Yah adalah dia sangat mencintai Tono, Tono adalah harapan dimana cita-citanya akan kembali untuk menjadi wanita yang baik.
Di dalam hidup, banyak hal yang sering sulit untuk diterka benar salah atau baik buruknya. Bahkan ketika kita memilih pasangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak mudah memahami dan mengerti  dua hati dan dua pemikiran yang berbeda. Tampilan dan yang tampak di luar, terkadang jauh berbeda dengan apa yang tersembunyi di dalam sebuah diri.
Ada beberapa masalah yang terjadi oleh para tokoh dalam novel Belenggu. Masalah pertama yang terjadi pada tokoh Tini adalah dia merasa diabaikan dan beranggapan bahwa suaminya lebih mencintai pekerjaan daripada dirinya, seakan tidak pernah ada waktu komunikasi dalam rumah tangga. Hari-hari mereka sering dilalui dengan pertengkaran. Tini merasa tidak memiliki hak di hadapan Tono. Itulah yang memicu pertengakaran di antara mereka, sepertinya tiada hari yang dilalui tanpa pertengkaran. Masalah kedua masih terjadi pada tokoh Tini, dia mengetahui tentang perselingkuhan suaminya dengan Yah, Tini pun marah dan jengkel, kemudian pergi ke hotel tempat Rohayah menginap untuk memberikan caci maki dan menumpahkan amarahnya. Setibanya di hotel, perasaan marah Tini luluh oleh kelembutan hati dan keramahan Yah. Setelah pulang dari hotel tempat Yah menginap, Tini berintrospeksi diri. Dia merasa telah berlaku kasar pada suaminya dan tidak bisa memberikan rasa kasih sayang seperti yang diinginkan suaminya. Dia lalu memutuskan untuk berpisah dengan Tono. Masalah kedua yang terjadi pada tokoh Yah adalah dia dipaksa kawin dengan laki-laki pilihan orangtuanya, laki-laki itu lebih tua darinya. Yah akhirnya tidak tahan dan melarikan diri ke Jakarta, hingga akhirnya dia menjadi wanita panggilan dari hotel ke hotel.
Masalah ketiga yang terjadi pada tokoh Tono adalah dia berselingkuh dengan Yah, Yah dapat memberikan banyak kasih sayang yang sangat dibutuhkan oleh Dokter Sukartono yang selama ini tidak diperoleh dari istrinya. Dokter Sukartono tidak pernah merasakan ketentraman dan selalu bertengkar dengan istrinya, oleh karena itu dia sering mengunjungi Yah. Dia mulai merasakan hotel tempat Yah menginap sebagai rumahnya yang kedua. Setelah perselingkuhannya diketahui oleh Tini, Tini pun meminta bercerai dari Tono. Permintaan tersebut dengan berat hati dipenuhi oleh Dokter Sukartono. Bagaimanapun, dia tidak mengharapkan terjadinya perceraian. Dokter Sukartono meminta maaf pada istrinya dan berjanji untuk mengubah sikapnya. Namun, keputusan istrinya sudah bulat. Dokter Sukartono tak mampu menahannya. Akhirnya mereka bercerai. Betapa sedih hati Dokter Sukartono akibat perceraian tersebut. Hatinya bertambah sedih saat Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan sepucuk surat yang mengabarkan jika dia mencintai Dokter Sukartono. Dia akan meninggalkan tanah air selama-lamanya dan pergi ke Calidonia.

 III.            PEMBAHASAN TEORI
            Dalam pembahasan ini, sedikit akan dijelaskan beberapa teori-teori pendukung dalam menganalisis novel Belenggu. Teori pendukung dalam pembahasan teori disini adalah feminisme. Adapun pengertian feminisme, diantaranya :
  • Menurut Dzuharyatin ( dalam Bainar, 1998: 16-17 )
Feminisme adalah sebuah ideologi yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemerasan terhadap wanita dalam masyarakat.
  •   Menurut Rosemary Tong dalam bukunya yang berjudul Feminist Tough
Feminisme adalah ideologi yang menyebabkan terjadinya penindasan kaum wanita.

  •  Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Feminisme adalah teori-teori yang mempertanyakan pola hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan.
  • Menurut Farid Achmad Okbah, M.Ag.   
Feminisme adalah idiologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa Barat dalam rangka memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia: laki-laki dan perempuan
  • Menurut Dr. Mansour Fakih
 Feminisme adalah  konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada lawan laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
  • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, cetakan keempat (1995)
 Feminisme adalah Gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
 sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.
  • Menurut Goefe
Feminisme adalah teori persamaan antara laki-laki dan wanita dibidang politik, ekonomi, dan sosial, atau  yang terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan kaum wanita.
Dengan demikian secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa feminisme adalah ideologi yang menyebabkan terjadinya penindasan, pemerasan kaum wanita, teori-teori yang mempertanyakan pola hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan.
Dari beberapa pengertian diatas, bahwa dalam novel Belenggu feminisme yang diperlihatkan adalah Tini sibuk dengan organisasi kewanitaannya dan segala macam kongres kewanitaan. Sumartini merasa telah disepelekan dan merasa bosan karena selalu ditinggalkan suaminya yang selalu sibuk menolong pasien-pasiennya. Dia merasa dirinya telah dilupakan dan merasa bahwa derajatnya sebagai seorang perempuan telah diinjak-injak sebagai seorang istri. Karena suaminya tidak mampu memenuhi hak sebagai seorang istri.
 IV.            HASIL ANALISIS
Dalam menganalisis novel Belenggu ini, menggunakan pendekatan feminisme. Pendekatan feminisme adalah salah satu kajian karya sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya.
Menurut Tini, sebagai istri, perempuan juga berhak untuk “menyenangkan pikiran, menggembirakan hati” karena dia “manusia juga yang berkemauan sendiri”. Tini mengibaratkan istri yang hanya tinggal di rumah sebagai “barang simpanan, berbedak dan berpakaian bersih, sekali setahun dijemur diluar”. Tini menolak situasi yang demikian. Dia menegaskan, “Kami lain, kami bimbing nasib kami sendiri, tiada hendak menanti rahmat laki-laki” (Belenggu. hlm. 53).
Dalam dialog melalui surat dengan sahabatnya bernama Tati, Tini menemukan pertanyaan-pertanyaan kritis serupa. “Yu, Yu, benarkah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja yang kita ingat, kalau kita tiada ingat akan diri kita, kalau kesukaan kita cuma memelihara dia? Kalau tiada perasaan yang demikian, benarkah kita belum benar-benar kasih akan dia? Aku bingung, yu, bukankah kita berhak juga hidup sendiri? Bukankah kita ada juga kemauan kita? Mestikah kita matikan kemauan kita itu? Entahlah, yu, aku belum dapat berbuat begitu” (Belenggu. hlm. 71).
Dari kedua hal di atas, sangat jelas terlihat bahwa pikiran-pikiran Tini dan berbagai gagasan yang ditampilkan dalam novel ini dapat dikatakan cukup maju untuk sebuah pandangan beraroma feminisme di zamannya. Sumartini merasa telah disepelekan dan merasa bosan karena selalu ditinggalkan suaminya yang selalu sibuk menolong pasien-pasiennya. Dia merasa dirinya telah dilupakan dan merasa bahwa derajatnya sebagai seorang perempuan telah diinjak-injak sebagai seorang istri. Karena suaminya tidak mampu memenuhi hak sebagai seorang istri.
DAFTAR PUSTAKA
Pane, Armijn. 2008. Belenggu. Jakarta : PT. Dian Rakyat.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta : Pustaka.
Website . http://cahsasindo.blogspot.com . diakses pada tanggal 1 Mei 2011, pukul 21.00 wib.