KEMENANGAN
ADAT DALAM NOVEL “SALAH ASUHAN”
DENGAN
PENDEKATAN
SOSIOLOGI
SASTRA DAN POSTKOLONIALISME
Sastra merupakan sebuah album rekaman pada zaman tertentu, begitu banyak nilai-nilai
kehidupan yang terkandung di dalamnya baik secara implisit maupun secara
eksplisit. Sehingga ada beberapa karya yang perlu dikaji lebih secara mendalam
untuk mengetahuinya. Selain dapat
dijadikan album rekaman dapat juga dijadikan dokumen masyarakat, yang
berisi tentang norma-norma, sejarah perjuangan, adat-istiadat, dan silsilah
tokoh. Menurut Warton (Wellek dan Warren, 1995:122), sastra adalah gudang
adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama sejarah bangkit dan
runtuhnya semangat kesatriaan. Mempelajari sastra dapat dikatakan sebagai dokumen atau potret
sosial. Dikatakan sebagai dokumen
sosial, karena sastra berkaitan dengan
reproduksi ulang dari cermin kehidupan yang cenderung realitas di masyarakat, sedangkan sastra
sebagai potret sosial, sastra
mempunyai kemampuan untuk merekam tanda-tanda zaman baik secara temporal maupun secara periodik.
Teeuw (1984:94 dan 1983:65), sastra tidak lahir dalam
situasi kekosongan budaya dan juga karya sastra merupakan karya fiksi yang
bersifat imajinatif, pengarang berusaha memanfaatkan kondisi sosial di
sekitarnya sebagai objek karya sastra. Kehadiran sastra ada misi-misi tertentu
dari seorang pengarang sebagai anggota masyarakat yang peka akan
sentuhan-sentuhan situasional. Novel Salah Asuhan Karya Abdul Muis, yang merupakan salah satu karya
sastra yang populer pada angkatan Balai Pustaka. Novel tersebut mengisahkan
pembauran dan pembenturan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Novel Salah
Asuhan, tampil ditengah-tengah zamannya, yang menggambarkan pemberontakan
antara kaum muda (pembaharu) yang berpendidikan Barat dengan berpandangan luas
dengan kaum tua (tradisonal) yang masih berpegang erat akan nilai-nilai
adat-istiadat setempat.
Gesekan-gesekan yang muncul dalam Salah Asuhan,
pada hakikatnya bukan benturan antara kaum tua (ibu dan mamak Hanafi) dengan
kaum muda (Hanafi), melainkan benturan yang ada dalam diri Hanafi sendiri.
Hanafi dengan bekal pendidikan dan lingkungan pergaulannya menganut nilai-nilai
dan sikap hidup yang berorientasi ke Barat, dan berusaha dengan sekuat
tenaganya untuk mewujudkan cita-citanya dengan jalan mengawini gadis
Indo-Eropa, yang bernama Corrie du Busse, dan meningggalkan istrinya Rapiah
yang dianggapnya sebagai perempuan kampungan yang tidak tahu apa-apa.
Novel Salah Asuhan merupakan gambaran kehidupan
salah satu pemuda Indonesia, karena memperoleh pendidikan Barat ingin hidup
seperti kehidupan orang-orang Barat, yang sudah barang tentu tidak akan dapat
diterima bahkan mengejutkan anggota keluarga mereka sendiri. Timbullah
gesekan-gesekan yang terjadi tidak lain dari konflik batin dalam diri sendiri,
muncullah pertikaian antara keinginan dengan realita, jauh dari relasi
sanak-saudara, cinta yang gagal, bahagia sesaat, dan dikucilkan dari lingkungan
setempat.
Di novel ini tokoh Corrie di tempatkan pada kelompok ras biologis, dengan
kecantikan keindahannya, Corrie menjadi tumpuan perhatian tokoh lain. Dari
keindahannya tersebut jelas sekali bahwa kaum pribumi sangat rendah derajatnya.
Dengan label keindahannya pula, Corrie ditempatkan sebagai seorang perempuan
yang mempunyai pandangan dan pemikiran yang lebih luas dari Hanafi. Serta memiliki
sifat ketinggian bangsa, dan sifat inilah yang menimbulkan perang batin dalam
dirinya tatkala bersahabat dengan Hanafi.
Dengan adanya sistem patriakhal (garis laki-laki atau kebapakan),
menempatkan dan manjadikan Corrie pada ras Eropa, bukan ras Indonesia. Hanafi ditampilkan sebagai wakil dari masyarakat yang
termasuk dari kelompok ras geografis. Ia adalah seorang pemuda Minangkabau yang
melakukan pemberontakan terhadap label ras-nya. Hanafi merasa menyesal dan
sedih dengan status pribuminya. Perbedaan antara bangsa Barat dan bangsa Timur
sangat jelas dapat dilihat melalui dialog Tuan du Busse dengan Corrie, seperti
kutipan berikut ini.:
Contoh sudah banyak, Corrie sudah tentu banyak juga di antara bangsa Barat
yang memandang sama akan segala bangsa di dunia ini, atau sekurang-kurangnya
tidak sangat memandang hina akan bangsa Timur tetapi sebahagiaan yang terbesar
masih meyakini kata: Kipling seorang pujangan Inggris, Timur tinggal Timur,
Barat dan tinggal Barat, dan tidaklah keduanya akan menjadi satu (hlm. 21).
Perbedaan ras antara Barat dan Timur telah menimbulkan
kebencian ras tersebut. Orang Barat merasa benci kepada orang Timur dan sebaliknya
orang Timur pun merasa benci kepada orang Barat, apalagi bila telah terjadi
perkawinan campuran dari kelas ras yang berbeda itu. Karena adanya tekanan Ras
itu maka Hanafi melakukan pemberontakan untuk bebas dari diskriminasi ras,
yaitu dengan menjadi orang Indonesia yang kebelanda-belandaan lalu meminang
Corrie. Saat krisis identitas kebudayan itulah Hanafi merasa berhasil keluar
dari kebumiputraannya. Dalam masyarakat Minangkabau bila laki-laki mendapatkan
istri dari luar Minangkabau berarti dia sudah melepaskan diri dari ikatan
keluarganya. Namun, tindakannya itu ternyata salah, karena pada akhirnya Hanafi
harus terbuang dari golongannya (Dalam masyarakat Minangkabau bila laki-laki
mendapatkan istri dari luar Minangkabau berarti dia sudah melepaskan diri dari
ikatan keluarganya) dan dihancurkan oleh masyarakat lingkungan Barat yang
menolak kehadirannya bersama Corrie ke dalam lingkungan mereka.
Tokoh Hanafi sebagai bangsa Indonesia yang hanya dididik
menjadi antek-antek Belanda semata, tetapi ia tidak menyadari hal itu. Jadi sekalipun
Hanafi sudah minta dipersamakan haknya dengan warga negara Belanda, pada
hakekatnya dia selalu dijauhi oleh orang-orang Belanda sendiri (merupakan
politik Belanda yang menjadikan orang Indonesia sebagai antek Belanda) dan hal
inilah yang ditentang keras oleh Abdul Moeis. Karena konsep pendidikan Barat
itu lah alasan mengapa Abdul Moeis memenangkan adat agar para pemuda pribumi
supaya tetap bersifat ketimuran walaupun telah mengenyam pendidikan Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar