Sabtu, 29 September 2012

NOVEL “STUDENT HIDJO” SEBAGAI SEBUAH BACAAN LIAR

NOVEL “STUDENT HIDJO”
SEBAGAI SEBUAH BACAAN LIAR

            Pemerintahan kolonial Belanda dalam perkembangan kultural membutuhkan berbagai bentuk sarana untuk mengendalikan kesadaran masyarakat jajahan. Salah satunya yaitu buku bacaan (termasuk karya sastra), dengan sendirinya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Melalui Commisie voor de Inlandsche School en Volkslektuur (Komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat) pemerintahan kolonial menyeleksi dan mengawasi isi dari bacaan dari setiap penerbitan yang ada. Bacaan yang tidak se-ideologi dengan mereka disebut “Bacaan Liar.”  Bacaan liar dalam pandangan pemerintahan kolonial dianggap tidak sesuai untuk perkembangan kebudayaan masyarakat jajahan dari segi isi maupun bahasa. Bacaan liar adalah bacaan yang sifat-sifat dan isi karangannya banyak menghasut rakyat untuk berontak.
            Pengarang yang menulis bacaan liar disebut sebagai pengarang liar, salah satunya yaitu Mas Marco Kartodikromo, yang telah berkali-kali dijatuhi hukuman oleh pemerintahan Belanda karena tulisan-tulisannya.
            Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Buku ini diterbitkan kembali dengan dua versi pada tahun 2000, oleh Aksara Indonesia dan Bentang, keduanya penerbit dari Yogya.
            Novel ini berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. Hingga menjadi masuk akal jika novel ini kemudian dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni Balai Pustaka, bahkan sampai saat ini.
            Marco secara lugas juga menunjukan keberpihakannya kepada bangsa Bumiputra. Ia menggunakan tokoh Controuler Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang mengkritik ketidakadilan colonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia. Siregar (1964) menyatakan bahwa Mas Marco Kartodikromo adalah pengarang yang pertama kali melancarkan kritik terhadap feodalisme dan kolonialisme atas dasar perjuangan kelas.
            Novel ini menggambarkan kehidupan priyayi Jawa dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, seperti kemudahan menimba pendidikan. Suasana-suasana masa pergerakan, terutama Sarekat Islam, yang merupakan organisasi masyarakat yang sangat popular, Razif (2005), Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan.
Novel ini juga melambangkan modernitas kaum muda pada masa pemerintahan kolonial Belanda, yang digambarkan pada tokoh Raden Hidjo lulusan HBS dan tunangannya Biroe. Modernitas dan nilai-nilai tradsional mengalami perubahan, tetapi digambarkan sejajar. Selain itu perjuangan idealisme organisasi Sarekat Islam yang dipimpin Mas Marco tampak dalam novelnya Student Hidjo, Shiraishi (2005), Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
Tokoh utama dalam novel ini yaitu Hidjo. Ia digambarkan sebagai “seorang anak moeda jang soeka beladjar; djoega dia seorang jang tidak banjak bitjara dan kesenangan seperti anak moeda kebanjakan”(hlm 8). Ia anak seorang saudagar kaya. Ayahnya menginginkan Hidjo melanjutkan sekolahnya seperti anak-anak pangeran dan anak-anak bupati. Saudagar atau pedagang pada masa itu masih dipandang rendah oleh para pegawai pemerintahan, seperti yang dikatakan oleh Raden Potronojo pada novel Student Hidjo Hlm.6. Ayah Hidjo, Raden Putronojo, berharap dengan Hidjo pergi ke Belanda, dia bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan Gouvernement,  pemerintah kolonial. Namun sang ibu, Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke luar negeri yang dinilai sarat “pergaulan bebas.”
Pendidikan di Belanda membuka mata dan pikirannya yang sangat besar bagi Hidjo. Hidjo sang kutu buku yang “dingin” dan mendapat julukan “pendito” sampai onzijdig, banci, akhirnya terlibat hubungan seksual di luar nikah dengan Betje. Pertentangan karena melakukan aib dan panggilan ke Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk memutuskan tali cinta pada Betje.
Lalu, pada akhirnya Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe, sementara Biroe dengan Raden Mas Wardojo, kakak laki-laki woengoe. Semua, baik dari pihak yang dijodohkan maupun yang menjodohkan, menerima dan bahagia. Di bagian itu membuktikan kalau cerita perjodohan tidak selalu berakhir dengan tangis dan sengsara.
Selain itu, pengalaman Hidjo ke Belanda selain membuka mata dan pikirannya, ia juga menikmati sedikit hiburan murah ketika dia bisa memerintah orang-orang Belanda di Hotel, restaurant, atau di rumah tumpangan yang mustahil bisa dilakukan di Hindia (lihat hlm. 38-39). Dari peristiwa tersebut, Hidjo mengetahui bahwa tidak semua bangsa Belanda mempunyai sifat ingin memerintah tapi ada juga yang ingin diperintah (lihat hlm. 39).
Keinginan untuk melepaskan diri dari penindasan dan menuntut persamaan hak antara bangsa Bumiputra dan bangsa Belanda lah yang mendasari penulisan novel ini. Dapat terlihat ketika persamaan derajat, kekuatan serta kepercayaan yang diharapkan oleh bupati Djarak (lihat hlm. 85). Disini Mas Masrco ingin menyadarkan masyarakat, khususnya kaum kromo untuk berjuang melepaskan dari penindasan, melalui pergerakan politik agar persamaan hak antara bangsa Bumiputra dan bangsa Belanda dapat diwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar