NOVEL “STUDENT
HIDJO”
SEBAGAI SEBUAH BACAAN LIAR
Pemerintahan kolonial Belanda dalam perkembangan kultural
membutuhkan berbagai bentuk sarana untuk mengendalikan kesadaran masyarakat
jajahan. Salah satunya yaitu buku bacaan (termasuk karya sastra), dengan
sendirinya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Melalui Commisie voor de Inlandsche School en Volkslektuur (Komisi untuk
bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat) pemerintahan kolonial menyeleksi dan
mengawasi isi dari bacaan dari setiap penerbitan yang ada. Bacaan yang tidak se-ideologi
dengan mereka disebut “Bacaan Liar.”
Bacaan liar dalam pandangan pemerintahan kolonial dianggap tidak sesuai
untuk perkembangan kebudayaan masyarakat jajahan dari segi isi maupun bahasa.
Bacaan liar adalah bacaan yang sifat-sifat dan isi karangannya banyak menghasut
rakyat untuk berontak.
Pengarang yang menulis bacaan liar disebut sebagai
pengarang liar, salah satunya yaitu Mas Marco Kartodikromo, yang telah
berkali-kali dijatuhi hukuman oleh pemerintahan Belanda karena
tulisan-tulisannya.
Student Hidjo karya
Mas Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai
buku tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan,
sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Buku ini diterbitkan
kembali dengan dua versi pada tahun 2000, oleh Aksara Indonesia dan Bentang,
keduanya penerbit dari Yogya.
Novel ini berkisah tentang awal mula kelahiran para
intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di
Belanda dan Hindia Belanda. Hingga menjadi masuk akal jika novel ini kemudian
dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni Balai Pustaka, bahkan sampai saat ini.
Marco secara lugas juga menunjukan keberpihakannya kepada
bangsa Bumiputra. Ia menggunakan tokoh Controuler
Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang mengkritik ketidakadilan
colonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia. Siregar (1964) menyatakan bahwa Mas
Marco Kartodikromo adalah pengarang yang pertama kali melancarkan kritik
terhadap feodalisme dan kolonialisme atas dasar perjuangan kelas.
Novel ini menggambarkan kehidupan priyayi Jawa dengan
berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, seperti kemudahan menimba
pendidikan. Suasana-suasana masa pergerakan, terutama Sarekat Islam, yang
merupakan organisasi masyarakat yang sangat popular, Razif (2005), Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman
Pergerakan.
Novel
ini juga melambangkan modernitas kaum muda pada masa pemerintahan kolonial
Belanda, yang digambarkan pada tokoh Raden Hidjo lulusan HBS dan tunangannya
Biroe. Modernitas dan nilai-nilai tradsional mengalami perubahan, tetapi
digambarkan sejajar. Selain itu perjuangan idealisme organisasi Sarekat Islam
yang dipimpin Mas Marco tampak dalam novelnya Student Hidjo, Shiraishi (2005), Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa
1912-1926.
Tokoh
utama dalam novel ini yaitu Hidjo. Ia digambarkan sebagai “seorang anak moeda jang soeka beladjar; djoega dia seorang jang tidak
banjak bitjara dan kesenangan seperti anak moeda kebanjakan”(hlm 8). Ia
anak seorang saudagar kaya. Ayahnya menginginkan Hidjo melanjutkan sekolahnya
seperti anak-anak pangeran dan anak-anak bupati. Saudagar atau pedagang pada
masa itu masih dipandang rendah oleh para pegawai pemerintahan, seperti yang
dikatakan oleh Raden Potronojo pada novel Student Hidjo Hlm.6. Ayah Hidjo, Raden Putronojo, berharap dengan Hidjo pergi ke
Belanda, dia bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun sudah menjadi
saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi murni dari
garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh, khususnya di
mata orang-orang yang dekat dengan Gouvernement,
pemerintah kolonial. Namun sang ibu,
Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke luar negeri yang dinilai sarat
“pergaulan bebas.”
Pendidikan
di Belanda membuka mata dan pikirannya yang sangat besar bagi Hidjo. Hidjo sang
kutu buku yang “dingin” dan mendapat julukan “pendito” sampai onzijdig,
banci, akhirnya terlibat hubungan seksual di luar nikah dengan Betje.
Pertentangan karena melakukan aib dan panggilan ke Jawa akhirnya menguatkan
Hidjo untuk memutuskan tali cinta pada Betje.
Lalu,
pada akhirnya Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe, sementara Biroe
dengan Raden Mas Wardojo, kakak laki-laki woengoe. Semua, baik dari pihak yang
dijodohkan maupun yang menjodohkan, menerima dan bahagia. Di bagian itu
membuktikan kalau cerita perjodohan tidak selalu berakhir dengan tangis dan
sengsara.
Selain
itu, pengalaman Hidjo ke Belanda selain membuka mata dan pikirannya, ia juga
menikmati sedikit hiburan murah ketika dia bisa memerintah orang-orang Belanda
di Hotel, restaurant, atau di rumah tumpangan yang mustahil bisa dilakukan di
Hindia (lihat hlm. 38-39). Dari
peristiwa tersebut, Hidjo mengetahui bahwa tidak semua bangsa Belanda mempunyai
sifat ingin memerintah tapi ada juga yang ingin diperintah (lihat hlm. 39).
Keinginan
untuk melepaskan diri dari penindasan dan menuntut persamaan hak antara bangsa
Bumiputra dan bangsa Belanda lah yang mendasari penulisan novel ini. Dapat
terlihat ketika persamaan derajat, kekuatan serta kepercayaan yang diharapkan
oleh bupati Djarak (lihat hlm. 85).
Disini Mas Masrco ingin menyadarkan masyarakat, khususnya kaum kromo untuk berjuang melepaskan dari
penindasan, melalui pergerakan politik agar persamaan hak antara bangsa
Bumiputra dan bangsa Belanda dapat diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar