“Ya, Dalam penciptaan saya butuh
perenungan. Tapi itu tergantung pada persoalannya; apakah kita perlu merenung
terlalu lama atau tidak. Dalam perenungan itu biasanya kita mendapatkan tema .
Tema itu kemudian disimpan, dan bacaan-bacaan yang pernah kita peroleh itu akan
bergabung menjadi semacam aliran listrik. Tinggal bagaimana cara penyajian itu
sendiri pada masyarakat dalam bentuk lain. Setelah itu kita mencari fantasi
agar tidak membosankan dan tidak terlalu jauh dari kenyataan. Kebetulan semua
cerita yang saya tulis sengaja saya ambil dari kehidupan masyarakat itu
sendiri.” (Handriyo utomo, “Dialog Nh.
Dini dengan keluarga penulis Semarang”.
Suara Karya 10 Oktober 1980, Hal.
4, Kolom 1)
Yang ingin wawancarainya, harus
membayar Rp 15.000 per-jam. “Jika
jawaban yang saya berikan saya tulis di media massa, akan menghasilkan uang,
bukan?” katanya kalem. (Apa Siapa, “Nah,
Darah Bugisnya Muncul !”. Padang: Singgalang 10 Oktober 1988, Hal. 6, Kolom 1—2
)
“Tapi saya tak pernah meminta
bayaran bila untuk ceramah lembaga pendidikan seperti IKIP misalnya” (Francis
Handayama, Wawancara Khusus Harus Bayar, Suara Karya 1 Februari 1981.
Hal 1 Kolom 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar